Thursday 23 September 2010

Analisis Kasus Menurut Perspektif Etika/Moral Kasus Pembayaran Tunjada di Kab. Limapuluh Kota

Al Afdal Permana
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UNAND

I. Latar Belakang

Dalam tatanan sistem sosial seperti kehidupan bernegara mulai dari tingkat pusat sampai daerah senantiasa akan ada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau punya wewenang untuk mengambil keputusan, kebijakan yang berkaitan dan mempengaruhi khalayak/masyarakat dalam suatu sistem sosial. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administratif efisien. Guna pencapaian hal tersebut idealnya diperlukan etika dalam pelayanan publik. Namun dilain pihak, etika pelayanan publik prakteknya masih terdapat ada keluhan dari masyarakat mengenai indikasi/ sinyalmen adanya tindakan penyelewengan seperti kasus pembayaran tunjangan daerah (tunjada) bagi guru di Kabupaten Limapuluh Kota yang belum dibayar oleh Pemkab Limapuluh Kota.
Dalam kasus ini, tidak dibayarkannya dana tunjangan daerah bagi guru tersebut ditegaskan dengan surat edaran bupati disebabkan anggaran yang devisit. Secara keseluruhan dana tunjangan daerah yang tidak dibayarkan untuk semua PNS di jajaran Pemkab Limapuluh Kota berjumlah Rp 9,6 milyar. Dana untuk pembayaran tunjangan profesi guru bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan pada dana dekonsentrasi dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Dinas Pendidikan Provinsi. Yang menjadi sinyalmen/indikasi adanya tindakan penyelewengan administrasi ataupun etika administrasi negara adalah kemana aliran dana tersebut padahal DPRD sudah mensahkan di dalam APBD 2009. Selain itu, surat edaran yang menyatakan bahwa anggaran devisit juga kontroversial dan membingungkan . Dipertegas dari argumen yang menguatkan adanya penyelewengan adalah yang diungkapkan oleh juru bicara para guru Zuliardi.

”APBD dikatakan devisit namun pejabat tidak pernah devisit, jika betul APBD devisit seharusnya tidak ada anggaran worshop, perjalanan dinas dan kunjungan kerja”

Berdasarkan fenomena-fenomena, muncul sinyalmen adanya penyelewengan dan tindakan korupsi, tanpa melaksanakan suatu prosedur pelayanan masyarakat yang berindikasi pengabaian terhadap etika administrasi negara. Oleh karena itu, penulis tertarik menganalisa kasus ini melalui perspektif etika administrasi negara.

II. Pembahasan

Dalam kasus ini tidak dibayarkannya tunjangan daerah kepada guru di Kabupaten Limapuluh Kota disebabkan karena anggaran yang defisit. Hal ini ditegaskan oleh surat edaran yang dukeluarkan oleh bupati. Jika dikaji maka hal ini merupakan suatu keputusan yang tidak populer dan diluar rasionalitas dari pemkab sebagai pelaksana administrasi negara. Herbert Simon mengingatkan bahwa para administrator ternyata dalam membuat keputusan cenderung didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan di luar rasionalitas atau diluar pertimbangan ekonomi dan efisiensi (Keban, 2008:165). Keputusan yang dikeluarkan oleh pemkab tentang anggaran yang defisit ini dianggap diluar rasionalitas karena anggaran untuk membayar tunjangan guru tersebut telah diasahkan oleh DPRD dan dianggarkan di dalam APBD 2009.
Belum dibayarkannya tunjangan daerah tersebut dianggap kontroversial dan merupakan suatu tindakan penyelewengan oleh pejabat-pejabat pemkab. Keputusan dan aktivitas yang dilakukan belum didasari etika dan moral yang benar. Etika atau moral menjadi salah satu dimensi terpenting dalam administrasi publik karena kegiatan-kegiatan administrasi publik berkenaan dengan maksud dan tujuan publik, diarahkan untuk memuaskan kepentingan atau kebahagiaan publik.
Tindakan penyelewengan atau yang lebih populer korupsi dalam pembayaran tunjangan daerah ini adalah kemana raibnya dana sebesar Rp 9,6 milyar tersebut, padahal dana sebesar itu telah disahkan oleh DPRD. Selain itu, pernyataan bupati yang menyatakan anggaran defisit juga tidak masuk akal karena dana ada kalau ada kegiatan seperti worshop, perjalanan dinas dan kunjungan kerja. Secara konsep etika administrasi negara, birokrasi dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat bukan untuk mencari keuntungan-keuntungan pribadi.
Hilangnya dana sebesar 9,6 milyar tersebut sudah jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap etika administrasi negara. Penyelewengan-penyelewengan atau tindakan korupsi ini dapat terjadi karena adanya tindakan-tindakan politis. Aktivitas politis dari administrator negara tampak dari adanya diskresi atau keleluasaan bagi administrator negara dalam menjalankan birokrasi sehingga tidak salah kalau diskresi administrasi menjadi ”starting point” bagi masalah etika atau moral dalam dunia administrasi publik (John A. Rohr dalam Keban,2008:166). Secara logis, isu etika menjadi sangat vital di dalam administrasi publik karena adanya keleluasaan atau diskresi yang diberikan kepada para eksekutif. Diskresi administratif adalah segala aktivitas untuk mengemukakan saran, melapor, menjawab, mengambil inisiatif, menyampaikan info, memverivikasi, memperingatkan, mengadukan, menyokong, merangsang kerja, menegur, mendukung, menolak dan merundingkan sesuatu yang berpengaruh terhadap lembaga publik.
Adanya diskresi atau keleluasaan dalam pelaksanaan pemerintahan membuat etika dan moral menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan administrasi negara. Aplikasi etika dan moral dalam prakteknya dapat dilihat dari Kode Etik yang dimilki administrator publik. Kehadiran kode etik sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan prilaku dalam bekerja. Dalam kasus pembayaran tunjangan daerah tersebut adanya pelanggaran-pelanggaran kode etik. Mengutip dari etika administrasi publik dari ASPA (American Society for Administration) bahwa pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas pelayanan kepada diri sendiri. Dari indikator pertama ini, tampak pemkab tidak memberikan pelayanan yang baik kepada guru. Selain itu, dalam pemberian pelayanan publik diperlukan adanya pemenuhan janji kepada publik dan menjalankan kewajiban. Pemkab seharusnya merealisasikan anggaran tunjangan daerah yang telah disahkan di dalam APBD. Namun, pemkab belum menjalankan kewajibannya untuk agenda/janji tersebut. Sangat jelas, bahwa pemkab telah melakukan pelanggaran etika administrasi negara dengan mengabaikan janji dan kewajibannya kepada publik.
Selain itu indikator etika administrasi negara yang diabaikan oleh pemkab adalah tidak adanya transparansi dalam pelayanan, belum memberikan informasi yang jelas kepada publik sebagai salah satu stakeholder. Ketidakjelasan dana sebesar 9,6 milyar merupakan salah satu bentuk tidak transparansinya dan tidak jujurnya pemkab dalam pemberian pelayanan. Ditambah lagi dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh bupati yang menyatakan bahwa anggaran defisit merupakan sikap tidak bertanggung jawabnya pemerintah kabupaten. Etika administrasi negara senantiasa menganut pertanggungjawaban etis dalam dunia administrasi publik.(John A. Rohr dalam Keban,2008:166) Idealnya dalam etika administrasi negara pemerintah memiliki responsibility, yang dalam pelaksanaannya secara profesional dan harus mengambil keputusan politik yang tepat.

II. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis etika administrasi negara dalam kasus pembayaran tunujangan daerah di Kabupaten Limapuluh Kota dengan melihat indikator yang ada maka dapat disimpulkan bahwa etika pemkab dalam pemberian tunjangan kepada guru masih jauh dari yang diharapkan terlihat adanya indikasi tindakan penyelewengan dan pelanggaran etika administrasi negara. Ketidakjelasan dana tunjangan daerah mengindikasikan pengabaian terhadap etika seperti ketidakjujuran, tidak transparansinya pemerintah, pemenuhan janji kepada publik untuk membayar tunajangan daerah. Selain itu, surat edaran yang menyatakan bahwa anggaran devisit juga kontroversial dan membingungkan. Tidak dibayarnya tunjangan daerah tersebut menunjukan tidak bertanggungjawabnya pemkab sebagai pelayan publik.

IV. Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasioanal (2008), ”Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Tunjangan Profesi Guru”, diakses 27 Februari 2010 dari http://www.scribd.com/doc/14065798/Pedoman-Pelaksanaan-Penyaluran-Tunjangan-Profesi-Guru
Haluan (2010), Lagi, Ribuan Guru Tuntut Pembayaran Tunjada, Haluan, Hal 16.
Kumorotomo, Wahyudi.2007.Etika Administrasi Negara. Jakarta:Rajawali Pers.
Keban, Yeremias.T.2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Negara Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gavamedia.
Paselong, Narbani.2007. Teori Administrasi Negara. Makassar: Alfabeta.
Sudana, I Wayan, Muhadjir Darwin Ag, Subarsono. ”Studi Etika Pelayanan Publik”, http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/studi-etika-pelayanan-publik/ , diakses 27 Februari 2010.

No comments: